Media Penjernih Pemikiran Umat

Sabtu, 03 November 2018

Ketentuan dan Tata Cara Mengqadha' Shalat




Assalaamu’alaykum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.
Apa kabar sahabat #MuslimahBlog?
Semoga selalu sehat dan dalam perlindungan Allah Subhanahu Wata’ala. Aamiin Allahumma Aamiin.
#MuslimahBlog di edisi ke-3 kali ini dengan tema “Fiqih Muslimah”  akan membahas Ketentuan dan Tata Cara Mengqadha' Shalat yang kami ambil dari website rumahfiqih.com, insyaaAllah shahih, yang mana disana kita dapat tanya jawab seputar fiqih dengan ustadz.

Pertanyaan :
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Ustadz yang dirahmati Allah.

Alhamdulillah saya banyak menemukan pencerahan dengan membaca situs ini. Salah satunya tentang kewajiban mengqadha' shalat. Alhamdulillah dengan bertambahnya ilmu, saya akhirnya sadar bahwa shalat yang terlewat itu tidak cukup hanya didiamkan saja, atau sekedar diganti dengan amal-amal sunnah, tetapi memang harus diganti sebagaimana aslinya.

Hanya saja saya masih punya beberapa pertanyaan lagi. Mohon ustadz berkenan menjawabnya :

1. Kalau mengqadha' shalat Dzhuhur di malam hari, apakah kita disunnahkan mengeraskan bacaan atau tidak?

2. Kalau ada beberapa waktu shalat yang terlewat, apakah sewaktu menggantinya atau mengqadha'nya harus dengan urutan waktu shalatnya?

3. Apakah dalam shalat qadha' juga disunnahkan adzan dan iqamat?

4. Bolehkah mengqadha' shalat dengan berjamaah?

5. Apakah ada kewajiban kita untuk menyegerakan qadha' shalat ataukah boleh ditunda?

Demikian pertanyaan saya, mohon ustadz berkenan menjawabnya. Dan sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih. Semoga jawaban ustadz menjadi amal kebaikan kelak di kemudian hari.

Wassalam
 Jawaban : 
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang benar sekali bahwa qadha' shalat yang terlewat ini merupakan hal yang telah disepakati oleh seluruh ulama, tanpa kecuali. Dan dalam pelaksanaannya, qadha' shalat ini mempunyai beberapa ketentuan dan aturan, antara lain :
1. Sirr dan Jahr
Shalat lima waktu yang dikerjakan pada waktunya disunnahkan untuk dikeraskan (jahr) bacaannya pada waktu shalat Maghrib, Isya' dan Shubuh. Sedangkan bacaan pada shalat Dhuhur dan Ashar disunnah untuk dibaca secara lirih (sirr).
Lalu bagimana dengan shalat yang terlewat dan diqadha', apakah jahr dan sir mengikuti asal shalatnya ataukah mengikuti waktu dilaksanakan qadha'? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
a. Jumhur : Ikut Waktu Asal
Jumhur ulama di antaranya Mazhab Al-Hanafiyah, All-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa jahr dan sirr dalam urusan shalat qadha mengikuti waktu asalnya.
Jadi disunnahkan melirihkan bacaan pada qadha' shalat Dzhuhur dan Ashar, meski keduanya diqadha' pada malam hari. Dan begitu juga sebaliknya, disunnahkan mengeraskan bacaan pada qadha shalat Maghrib, Isya' dan Shubuh, meski pun ketiganya dilakukan pada siang hari.
b. Asy-Syafi'iyah : Ikut Waktu Qadha'
Sedangkan mazhab Asy-syafi'iyah justru berpendapat sebaliknya dalam urusan jahr dan sirr. Prinsipnya, bacaan qadha' shalat dikeraskan apabila dikerjakan pada malam hari, dan dilirihkan bila dilakukan pada siang hari.
Jadi disunnahkan mengeraskan bacaan pada qadha' shalat Dzhuhur dan Ashar, apabila keduanya diqadha' pada malam hari. Dan begitu juga sebaliknya, disunnahkan melirihkan bacaan pada qadha shalat Maghrib, Isya' dan Shubuh, bila ketiganya dilakukan pada siang hari.
2. Tertib
Para ulama sepakat bahwa prinsipnya shalat yang terlewat karena terlupa wajib dikerjakan begitu ingat, dan tidak boleh ditunda atau diselingi terlebih dahulu dengan melakukan shalat yang lain.
Dan para ulama juga sepakat bahwa bila seseorang terlewat dari beberapa waktu shalat dalam satu hari yang sama, maka cara menggantinya adalah dengan mengurutkan shalat-shalat itu berdasarkan waktu. Mana yang waktunya lebih awal maka diqadha' terlebih dahulu, dan mana yang waktunya belakang, diqadha' belakangan.
Dasarnya adalah praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika terlewat empat waktu shalat dalam satu hari yang sama, beliau SAW mengqadha'nya sesuai urutannya, mulai dari qadha' shalat Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan terakhir Isya'.إ
Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah berkata Abdullah,”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah SAW sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah SAW mengerjakan shalat Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.” (HR. At-Tirmizy dan AnNasa’i)
Namun para ulama umumnya tidak lagi mengharuskan qadha' shalat dilakukan dengan tertib sesuai urutannya manakala jumlah shalat yang diqadha sangat banyak. Sehingga yang mana saja yang dikerjakan terlebih dahulu, tidak menjadi masalah.
Maka dalam hal ini ada ulama yang memperbolehkan shalat-shalat yang sama dikerjakan beberapa kali, berdasarkan waktunya. Misalnya, setiap selesai melakukan shalat Dzhuhur, maka seseorang boleh mengqadha beberapa shalat Dhuhur sesuai dengan jumlah yang diinginkannya, hingga sampai lunas semua hutang-hutangnya.
Nanti ketika selesai menunaikan shalat Ashar, boleh diqadha' beberapa shalat Ashar yang dahulu pernah terlewat. Dan demikian juga dengan waktu yang lain, yaitu Maghrib, Isya' dan Shubuh.
3. Adzan dan Iqamah
Jumhur ulama sepakat bahwa qadha shalat lima waktu tetap disunnahkan untuk didahului dengan adzan dan iqamah. Namun bila shalat yang dikerjakan terdiri dari beberapa shalat sekaligus, cukup dengan satu kali adzan namun masing-masing shalat dipisahkan dengan iqamah yang berbeda.
Namun bila masing-masing shalat qadha' itu dikerjakan dalam waktu yang terpisah, maka masing-masing disunnahkan untuk diawali dengan adzan dan iqamah.[1]
4. Qadha' Berjamaah
Para ulama sepakat bahwa shalat qadha' boleh dilakukan dengan berjamaah, bahkan menjadi sunnah sebagaimana aslinya shalat lima waktu itu disunnahkan untuk dikerjakan dengan berjamaah.
Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika terlewat dari shalat.
Kemudian diserukan (adzan) untuk shalat dan beliau SAW mengimami orang-orang. (HR. Bukhari).
Mazhab Asy-Syafi'iyah mensyaratkan adanya kesamaan bentuk shalat antara imam dan makmum, meski berbeda niat antara keduanya. Maka dibolehkan antara imam yang mengqadha' shalat Ashar dengan makmum yang menqadha' shalat Dzhuhur atau Isya'. Namun tidak dibenarkan bila imam mengqadha' shalat Dzhuhur, Ashar atau Isya', sementara makmumnya mengqadha' shalat Shubuh atau Maghrib.
Untuk itu setidaknya dalam mazhab ini dibolehkan bila jumlah rakaat imam lebih sedikit dari jumlah rakaat yang dilakukan oleh makmumnya.
5. Waktu Pelaksanaan Qadha'
Para ulama sepakat bahwa shalat yang terlewat wajib untuk diqadha', namun mereka berbeda pendapat apakah qadha' shalat itu harus dilaksanakan dengan sesegera mungkin, ataukah boleh ditunda. Sebagian ulama mengatakan qadha' shalat wajib dikerjakan sesegera mungkin, namun sebagian mengatakan boleh ditunda.
a. Wajib Segera
Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa qadha' shalat yang terlewat wajib untuk segera ditunaikan. Keduanya berpendapat kewajiban shalat qadha' bersifat segera atau fauriy (فوري).
Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang memerintahkan untuk segera melakukan shalat begitu ingat tanpa menunda-nundanya.
Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda,”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia ingat (HR. Bukhari)
b. Tidak Wajib Segera
Sedangkan mazhab Asy-Syafi'iyah menyebutkan bahwa seseorang yang tertinggal dari mengerjakan shalat, wajib atasnya untuk mengganti shalatnya. Namun tidak diharuskan untuk dikerjakan sesegera mungkin, apabila udzur dari terlewatnya shalat itu diterima secara syar'i. Dalam hal ini kewajiban qadha' shalat itu bersifat tarakhi (تراخي).
Tetapi bila sebab terlewatnya tidak diterima secara syar'i, seperti karena lalai, malas, dan menunda-nunda waktu, maka diutamakan shalat qadha' untuk segera dilaksanakan secepatnya.
Bolehnya menunda shalat qadha' yang terlewat dalam mazhab ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari berikut ini :
Rasulullah beliau menjawab,"Tidak mengapa", atau " tidak menjadi soal". "Lanjutkan perjalanan kalian". Maka beliau SAW pun berjalan hingga tidak terlalu jauh, beliau turun dan meminta wadah air dan berwudhu. Kemudian diserukan (adzan) untuk shalat dan beliau SAW mengimami orang-orang. (HR. Bukhari).
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : https://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1420891299

Tidak ada komentar:

Posting Komentar