Assalaamu’alaykum Warahmatullaahi
Wabarakaatuh.
Apa kabar sahabat #MuslimahBlog?
Semoga selalu sehat dan dalam
perlindungan Allah Subhanahu Wata’ala. Aamiin Allahumma Aamiin.
#MuslimahBlog di edisi ke-3 kali ini
dengan tema “Fiqih Muslimah” akan
membahas Ketentuan dan Tata Cara Mengqadha' Shalat yang kami ambil dari
website rumahfiqih.com, insyaaAllah shahih, yang mana disana kita dapat tanya
jawab seputar fiqih dengan ustadz.
Pertanyaan :
Assalamu 'alaikum wr.
wb.
Ustadz yang dirahmati
Allah.
Alhamdulillah saya
banyak menemukan pencerahan dengan membaca situs ini. Salah satunya tentang
kewajiban mengqadha' shalat. Alhamdulillah dengan bertambahnya ilmu, saya
akhirnya sadar bahwa shalat yang terlewat itu tidak cukup hanya didiamkan saja,
atau sekedar diganti dengan amal-amal sunnah, tetapi memang harus diganti
sebagaimana aslinya.
Hanya saja saya masih
punya beberapa pertanyaan lagi. Mohon ustadz berkenan menjawabnya :
1. Kalau mengqadha'
shalat Dzhuhur di malam hari, apakah kita disunnahkan mengeraskan bacaan atau
tidak?
2. Kalau ada beberapa
waktu shalat yang terlewat, apakah sewaktu menggantinya atau mengqadha'nya
harus dengan urutan waktu shalatnya?
3. Apakah dalam shalat
qadha' juga disunnahkan adzan dan iqamat?
4. Bolehkah mengqadha'
shalat dengan berjamaah?
5. Apakah ada
kewajiban kita untuk menyegerakan qadha' shalat ataukah boleh ditunda?
Demikian pertanyaan
saya, mohon ustadz berkenan menjawabnya. Dan sebelumnya saya ucapkan banyak
terima kasih. Semoga jawaban ustadz menjadi amal kebaikan kelak di kemudian
hari.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Memang benar sekali bahwa qadha' shalat yang terlewat ini merupakan hal yang telah disepakati oleh seluruh ulama, tanpa kecuali. Dan dalam pelaksanaannya, qadha' shalat ini mempunyai beberapa ketentuan dan aturan, antara lain :
Memang benar sekali bahwa qadha' shalat yang terlewat ini merupakan hal yang telah disepakati oleh seluruh ulama, tanpa kecuali. Dan dalam pelaksanaannya, qadha' shalat ini mempunyai beberapa ketentuan dan aturan, antara lain :
1. Sirr dan Jahr
Shalat lima waktu yang
dikerjakan pada waktunya disunnahkan untuk dikeraskan (jahr) bacaannya
pada waktu shalat Maghrib, Isya' dan Shubuh. Sedangkan bacaan pada shalat
Dhuhur dan Ashar disunnah untuk dibaca secara lirih (sirr).
Lalu bagimana dengan
shalat yang terlewat dan diqadha', apakah jahr dan sir mengikuti asal shalatnya
ataukah mengikuti waktu dilaksanakan qadha'? Dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat.
a. Jumhur : Ikut Waktu
Asal
Jumhur ulama di
antaranya Mazhab Al-Hanafiyah, All-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa
jahr dan sirr dalam urusan shalat qadha mengikuti waktu asalnya.
Jadi disunnahkan
melirihkan bacaan pada qadha' shalat Dzhuhur dan Ashar, meski keduanya diqadha'
pada malam hari. Dan begitu juga sebaliknya, disunnahkan mengeraskan bacaan
pada qadha shalat Maghrib, Isya' dan Shubuh, meski pun ketiganya dilakukan pada
siang hari.
b. Asy-Syafi'iyah :
Ikut Waktu Qadha'
Sedangkan mazhab
Asy-syafi'iyah justru berpendapat sebaliknya dalam urusan jahr dan sirr.
Prinsipnya, bacaan qadha' shalat dikeraskan apabila dikerjakan pada malam hari,
dan dilirihkan bila dilakukan pada siang hari.
Jadi disunnahkan
mengeraskan bacaan pada qadha' shalat Dzhuhur dan Ashar, apabila keduanya
diqadha' pada malam hari. Dan begitu juga sebaliknya, disunnahkan melirihkan bacaan
pada qadha shalat Maghrib, Isya' dan Shubuh, bila ketiganya dilakukan pada
siang hari.
2. Tertib
Para ulama sepakat
bahwa prinsipnya shalat yang terlewat karena terlupa wajib dikerjakan begitu
ingat, dan tidak boleh ditunda atau diselingi terlebih dahulu dengan melakukan
shalat yang lain.
Dan para ulama juga
sepakat bahwa bila seseorang terlewat dari beberapa waktu shalat dalam satu
hari yang sama, maka cara menggantinya adalah dengan mengurutkan shalat-shalat
itu berdasarkan waktu. Mana yang waktunya lebih awal maka diqadha' terlebih
dahulu, dan mana yang waktunya belakang, diqadha' belakangan.
Dasarnya adalah
praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika terlewat empat waktu shalat
dalam satu hari yang sama, beliau SAW mengqadha'nya sesuai urutannya, mulai
dari qadha' shalat Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan terakhir Isya'.إ
Dari Nafi’ dari Abi
Ubaidah bin Abdillah, telah berkata Abdullah,”Sesungguhnya orang-orang musyrik
telah menyibukkan Rasulullah SAW sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat
ketika perang Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW
memerintahkan Bilal untuk melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah
SAW mengerjakan shalat Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan
shalat Ashar. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan
kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.” (HR. At-Tirmizy dan AnNasa’i)
Namun para ulama
umumnya tidak lagi mengharuskan qadha' shalat dilakukan dengan tertib sesuai
urutannya manakala jumlah shalat yang diqadha sangat banyak. Sehingga yang mana
saja yang dikerjakan terlebih dahulu, tidak menjadi masalah.
Maka dalam hal ini ada
ulama yang memperbolehkan shalat-shalat yang sama dikerjakan beberapa kali,
berdasarkan waktunya. Misalnya, setiap selesai melakukan shalat Dzhuhur, maka
seseorang boleh mengqadha beberapa shalat Dhuhur sesuai dengan jumlah yang
diinginkannya, hingga sampai lunas semua hutang-hutangnya.
Nanti ketika selesai
menunaikan shalat Ashar, boleh diqadha' beberapa shalat Ashar yang dahulu
pernah terlewat. Dan demikian juga dengan waktu yang lain, yaitu Maghrib, Isya'
dan Shubuh.
3. Adzan dan Iqamah
Jumhur ulama sepakat
bahwa qadha shalat lima waktu tetap disunnahkan untuk didahului dengan adzan
dan iqamah. Namun bila shalat yang dikerjakan terdiri dari beberapa shalat
sekaligus, cukup dengan satu kali adzan namun masing-masing shalat dipisahkan
dengan iqamah yang berbeda.
Namun bila masing-masing
shalat qadha' itu dikerjakan dalam waktu yang terpisah, maka masing-masing
disunnahkan untuk diawali dengan adzan dan iqamah.[1]
4. Qadha' Berjamaah
Para ulama sepakat
bahwa shalat qadha' boleh dilakukan dengan berjamaah, bahkan menjadi sunnah
sebagaimana aslinya shalat lima waktu itu disunnahkan untuk dikerjakan dengan
berjamaah.
Dasarnya adalah apa
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika terlewat dari shalat.
Kemudian diserukan
(adzan) untuk shalat dan beliau SAW mengimami orang-orang. (HR. Bukhari).
Mazhab Asy-Syafi'iyah
mensyaratkan adanya kesamaan bentuk shalat antara imam dan makmum, meski
berbeda niat antara keduanya. Maka dibolehkan antara imam yang mengqadha'
shalat Ashar dengan makmum yang menqadha' shalat Dzhuhur atau Isya'. Namun
tidak dibenarkan bila imam mengqadha' shalat Dzhuhur, Ashar atau Isya',
sementara makmumnya mengqadha' shalat Shubuh atau Maghrib.
Untuk itu setidaknya
dalam mazhab ini dibolehkan bila jumlah rakaat imam lebih sedikit dari jumlah
rakaat yang dilakukan oleh makmumnya.
5. Waktu Pelaksanaan
Qadha'
Para ulama sepakat
bahwa shalat yang terlewat wajib untuk diqadha', namun mereka berbeda pendapat
apakah qadha' shalat itu harus dilaksanakan dengan sesegera mungkin, ataukah
boleh ditunda. Sebagian ulama mengatakan qadha' shalat wajib dikerjakan
sesegera mungkin, namun sebagian mengatakan boleh ditunda.
a. Wajib Segera
Mazhab Al-Malikiyah
dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa qadha' shalat yang terlewat wajib untuk
segera ditunaikan. Keduanya berpendapat kewajiban shalat qadha' bersifat segera
atau fauriy (فوري).
Hal itu berdasarkan
sabda Rasulullah SAW yang memerintahkan untuk segera melakukan shalat begitu
ingat tanpa menunda-nundanya.
Dari Anas bin Malik dari
Nabi SAW bersabda,”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia
ingat (HR. Bukhari)
b. Tidak Wajib Segera
Sedangkan mazhab
Asy-Syafi'iyah menyebutkan bahwa seseorang yang tertinggal dari mengerjakan
shalat, wajib atasnya untuk mengganti shalatnya. Namun tidak diharuskan untuk
dikerjakan sesegera mungkin, apabila udzur dari terlewatnya shalat itu diterima
secara syar'i. Dalam hal ini kewajiban qadha' shalat itu bersifat tarakhi (تراخي).
Tetapi bila sebab
terlewatnya tidak diterima secara syar'i, seperti karena lalai, malas, dan
menunda-nunda waktu, maka diutamakan shalat qadha' untuk segera dilaksanakan
secepatnya.
Bolehnya menunda
shalat qadha' yang terlewat dalam mazhab ini berdasarkan hadits shahih yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari berikut ini :
Rasulullah beliau
menjawab,"Tidak mengapa", atau " tidak menjadi soal".
"Lanjutkan perjalanan kalian". Maka beliau SAW pun berjalan hingga
tidak terlalu jauh, beliau turun dan meminta wadah air dan berwudhu. Kemudian
diserukan (adzan) untuk shalat dan beliau SAW mengimami orang-orang. (HR. Bukhari).
Wallahu a'lam
bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
https://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1420891299
Tidak ada komentar:
Posting Komentar