Zaman sekarang penerapan syariah
Islam sering dituduh sebagai faktor pemecah belah kesatuan negara Indonesia.
Tuduhan yang justru menafikan realitas aksi separatisme dan terorisme. Sebut
saja Papua, sebuah wilayah yang basis mayoritas penduduknya bukanlah muslim dan
tidak diberlakukan perda syariah di sana. Meski demikian penyematan kelompok
terorisme tetap saja tertuju pada kelompok muslim.
Bahkan gelaran 212 yang spektakuler
dan berhasil mengumpulkan jutaan orang tanpa aksi kekerasan, penuh kedamaian
dan menebar rahmat kasih sayang tidak merubah sedikitpun stigma negatif Islam
sebagai agama radikal dan intoleran. Media nasional bungkam, sementara media
internasional justru ramai memberitakan.
Contoh terdekat mengenai sebutan
Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) untuk OPM pimpinan Egianus
Kogoya. OPM tidak dikategorikan kelompok teroris, meski membunuh sebanyak 31
pekerja proyek jembatan di jalur Trans Papua di Kali Yigi dan Kali Aurak,
Kabupaten Nduga, Papua. Pekerja tersebut merupakan karyawan PT Istaka Karya,
salah satu BUMN yang bergerak di bidang konstruksi.
Menteri Pertahanan (Menhan)
Ryamizard Ryacudu pun hanya menyebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)
bukanlah kelompok kriminal namun kelompok pemberontak. Menhan menilai
penanganan mereka bagian dari tugas pokok TNI dan dihadapi tanpa ada negosiasi
dengan KKB.
Lain halnya menurut Anggota Komisi
III DPR RI, Aboebakar (4/12) menilai pembunuhan ini sudah termasuk tindakan
terorisme karena sudah menebar teror dengan membunuh puluhan pekerja. Densus 88
harus punya atensi yang tinggi terhadap persoalan teror tersebut. Sayangnya
pandangan pribadi anggota dewan bukanlah representasi kekuasaan.
Hal ini mengingatkan kita pada
analisa Haris Abu Ulya tahun lalu (2017). Haris pengamat teroris dan intelijen
dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) menilai pelaku
penembakan dan penyanderaan warga di Papua tidak bisa dilabeli sekadar Kelompok
Kriminal Bersenjata (KKB). Ada dimensi politis yang terlihat dari tiga tuntutan
mereka seperti yang diungkapkan oleh Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot
Nurmantyo.
Pertama, bubarkan Freeport. Kedua,
militer Indonesia harus ditarik keluar dari Papua dan diganti dengan pasukan
Keamanan PBB. Ketiga, Pemerintah Indonesia harus menyetujui pemilihan
bebas atau referendum. Artinya rakyat Papua bisa menentukan nasib sendiri.
Kelompok
kriminal bersenjata menurut Haris melakukan kegiatannya untuk ekonomi semata,
tidak dibumbui dengan unsur politik. Dari tuntutannya KKB/KKSB terindikasi
merupakan kelompok yang disokong beragam komponen. Gejala campur tangan asing
terbaca dari setiap gejolak di Papua yang selalu diikuti dengan suara dari
beberapa negara. Mereka mendorong bahkan memberi tekanan yang target utamanya
adalah lepasnya Papua dari Indonesia.
Pentingnya
Kesatuan dan Kedaulatan Negara
Syariah Islam dalam
perkara penjagaan kesatuan wilayah Indonesia memandang operasi KKSB atau OPM
sebagai representasi bughat (pemberontakan) dalam wilayah negara Islam,
yang membawa konsekuensi lepasnya satu atau beberapa wilayah. Pemberontakan
menurut syariat Islam hukumnya haram meskipun Indonesia bukanlah negara Islam.
Status Indonesia sebagai wilayah negeri berpenduduk muslim mayoritas cukup
menjadikan haram lepasnya sejengkal tanah dari kesatuan wilayah sah negara
Indonesia.
Bila hukum dan perundang-undangan
yang ada saat ini dinilai belum cukup legitimate untuk menindak tegas
kaum pemberontak, separatis, dan teroris Papua, maka penerapan syariah Islam
oleh negara sepatutnya dipertimbangkan demi penjagaan terhadap wilayah kesatuan
Indonesia.
Negara asing yang terlibat
intervensi langsung maupun tidak langsung maka syariat memberlakukan politik
luar negeri dakwah dan jihad. Agar negara asing menghormati kedaulatan negeri
kaum muslimin. Kebijakan polugri dalam Islam dilakukan dalam rangka menjaga
kesatuan wilayah dan kedaulatan negara serta dakwah menebar rahmat ke seluruh
dunia.
Meski suara gaduh pasti akan
dihembuskan oleh kekuatan asing, melalui corong mereka di dalam dan di luar negeri,
atas pilihan penerapan syariat Islam dalam menjaga kesatuan dan kedaulatan
negara. Negara tidak boleh kalah dengan kaum pemberontak maupun tekanan asing.
Bagaimanapun hukum menjaga kesatuan dan kedaulatan wilayah negara lebih kuat
dibandingkan slogan perpecahan atas nama HAM dan referendum.
Oleh: Endiyah Puji
Tristanti, S.Si (Penulis dan Pemerhati Politik Islam)
Sumber: https://m.kiblat.net/2018/12/07/merawat-kesatuan-wilayah-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar