Polemik Istilah Kafir
Banjar, CNN Indonesia -- Musyawarah Nasional
Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) menyarankan agar Warga
Negara Indonesia yang beragama non-Muslim tak lagi disebut sebagai kafir. Kata
kafir dianggap mengandung unsur kekerasan teologis.
"Karena itu para kiai menghormati untuk
tidak gunakan kata kafir tetapi muwathinun atau warga negara, dengan begitu
status mereka setara dengan WN yang lain," kata Pimpinan Sidang Komisi
Bahtsul Masail Maudluiyyah, Abdul Moqsith Ghazali, di Pondok Pesantren Miftahul
Huda Al-Azhar, Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2).
Pembahasan tersebut dilakukan dalam Sidang
Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, Munas Alim Ulama dan Konbes NU. Moqsith
mengatakan saran melarang menyebut WNI non-muslim bukan untuk menghapus istilah
kafir dalam Alquran maupun hadis. Menurut Moqsith, keputusan sidang komisi
tersebut merupakan sikap teologis NU terhadap kondisi saat ini.
Ia menyatakan masih banyak masyarakat yang
menyematkan label diskriminatif pada sebagian kelompok WNI, baik yang beragama
Islam maupun non-Muslim. "Memberikan label kafir kepada WNI yang ikut
merancang desain negara Indonesia rasanya tidak cukup bijaksana," ujarnya.
Pada belakangan
ini ada wacana yang dihembuskan cukup masif, bahwa sesuai dari kutipan berita
diatas:
“Non-muslim tidak
boleh dipanggil kafir”
Mereka beralasan
bawa kata-kata “kafir” adalah kata-kata yang kasar dan menunjukkan intoleransi.
Tentu pendapat ini TIDAK BENAR dan PERLU DILURUSKAN.
Sebagai orang
indonesia kita perlu kembali pada pengertian “kafir” pada KBBI (Kamus Besar
Bahasa Indonesia):
“Kafir: Orang yang
tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”
Jadi, sangat tepat
apabila kita katakan dan kita sebut non-muslim dengan sebutan “kafir”
Sebuah ungkapan
yang bijak:
.
لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَال
.
لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَال
“Setiap
tempat ada ucapan yang layak”
Tentu kita TIDAK
memanggil orang yang tidak beriman atau non-muslim dengan panggilan seperti
ini:
“Hai kafir, mau ke
mana?”
“Perkenalkan ini
tetanggaku yg kafir”
Tentu kata-kata
“kafir” kita posisikan sesuai dengan tempatnya, BUKAN DIHAPUS ATAU TIDAK
DIGUNAKAN SAMA SEKALI dengan alasan perasaan semata atau alasan yang
dibuat-buat.
Menghapus atau
tidak menggunakan kata-kata kafir bertentangan dengan aqidah dasar Islam. Agama
Islam adalah agama yang tegas dan tidak abu-abu. Salah satu aqidah Islam adalah
mengkafirkan orang kafir dan menyebut mereka dengan “kafir”, sebagaimana
Allah Ta’ala menyebut mereka langsung dalam Al-Quran,
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ
قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي
إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ
فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ
مِنْ أَنْصَارٍ
Sesungguhnya
TELAH KAFIRLAH orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih
putera Maryam”, padahal Al Masih berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah,
Rabbku dan juga Rabbmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka
pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah
ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (QS.
Al-Maaidah: 72)
Al-Qadhi ‘Iyadh menjelaskan,
ولهذا نكفِّر كل من
دان بغير ملة المسلمين من الملل ، أو وقف فيهم، أو شك ، أو صحَّح مذهبهم
“Oleh
karena itu, kita mengkafirkan semua orang yang beragama selain agama kaum
muslimin atau orang yang sejalan dengan mereka atau ragu-ragu (dengan agama)
atau membenarkan agama mereka.” [Asy-Syifa Bita’rif huquqil
Musthafa 2/1071]
Salah satu aqidah kita
adalah apabila tidak mengkafirkan orang kafir, maka ini adalah bentuk
kekufuran. Sebagaimana salah satu pembatal keIslaman, yaitu
الثالث : من لم يكفر
المشركين أو شك في كفرهم أو صحح مذهبهم : كفَرَ إجْماعاً
“Barangsiapa
yang tidak mengkafirkan orang musyrik atau ragu-ragu bahwa mereka kafir atau
membenarkan mazhab (ajaran) mereka maka ini adalah kekufuran secara
ijma’.” [Nawaqidul Islam poin ke-3]
Sangat banyak
dalil dan nash yang menunjukkan bahwa orang yang tidak beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya adalah orang yang disebut dengan sebutan “kafir”.
Salah satu dalil
yang paling nyata dan hampir mayoritas muslim tahu adalah surat Al-Kafirun,
sangat jelas mereka yanh tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dipanggil
dengan sebutan “kafir”
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
(1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3)
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
(5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6
Katakanlah,
“Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah.
Dan kalian bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah men]adi
penyembah apa yang kalian sembah, dan kalian tidak pernah (pula) menjadi
penyembah apa yang aku sembah. Untuk kalianlah agama kalian, dan untukkulah
agamaku.” [QS. Al-Kafirun: 1-6]
Allah Ta’ala juga berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ
أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya
orang-orang yang KAFIR yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan
masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah
seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6)
Dalil-dalil di
atas sudah sangat jelas dan sangat nyata bahwa orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya pantas disebut “kafir”, hanya saja penyebutan ini
tentu sesuai keadaannya yang layak sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Adapun beralasan
dengan “intoleransi”, maka ini alasan yang dibuat-buat saja. Agama Islam adalah
agama yang indah, toleransi dan memerintahkan berlaku adil kepada orang kafir
sekalipun.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ
عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ
أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah
tiada melarang kamu untuk BERBUAT BAIK dan berlaku ADIL terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS.
Al-Mumtahah: 8)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah
menafsirkan,
لا ينهاكم الله عن البر
والصلة، والمكافأة بالمعروف، والقسط للمشركين، من أقاربكم وغيرهم، حيث كانوا بحال لم
ينتصبوا لقتالكم في الدين والإخراج من دياركم، فليس عليكم جناح أن تصلوهم، فإن صلتهم
في هذه الحالة، لا محذور فيها ولا مفسدة
“Allah
tidak melarang kalian untuk BERBUAT BAIK, menyambung silaturrahmi, membalas
kebaikan ,berbuat ADIL kepada orang-orang MUSYRIK baik dari keluarga kalian dan
orang lain. Selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka
tidak mengusir kalian dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin
hubungan dengan mereka karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan
seperti ini tidak ada larangan dan tidak ada kerusakan.” [Taisir
Karimir Rahmah hal. 819, Dar Ibnu Hazm]
Demikian semoga bermanfaat
@ Di antara langit dan bumi Allah, pesawat Garuda Lombok –
Jakarta
Penyusun: Raehanul Bahraen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar