APAKAH SUARA WANITA AURAT ?
Ulama
berbeda pendapat tentang hukum suara wanita. Sebagian ulama ada yang menyatakan
bahwa suara wanita adalah aurat. Namun, menurut pendapat jumhur (mayoritas)
ulama, suara wanita bukanlah aurat. Sehingga siapapun boleh saja mendengar
suara seorang wanita atau mendengarnya berbicara, karena tidaklah termasuk hal
yang terlarang dalam Islam. Ini adalah pendapat yang paling kuat dalam masalah
ini.
Syaikh
Wahbah Zuhaili Hafizhahullah berkata : “Suara wanita menurut jumhur
(mayoritas ulama) bukanlah aurat, karena para sahabat nabi mendengarkan suara
para isteri Nabi Saw untuk mempelajari hukum-hukum agama, tetapi
diharamkan mendengarkan suara wanita yang disuarakan dengan
melagukan dan mengeraskannya, walaupun dalam membaca Al Quran, dengan sebab
khawatir timbul fitnah.
Dikatakan :
“Ada pun jika suara wanita, maka jika si pendengarnya berlezat-lezat dengannya,
atau khawatir terjadi fitnah pada dirinya, maka diharamkan mendengarkannya,
jika tidak demikian, maka tidak diharamkan. Para sahabat radhiyallahu’anhum
mendengarkan suara wanita ketika berbincang dengan mereka (dan itu tidak
mengapa).
Dalil yang
menunjukkan bahwa suara wanita bukanlah aurat sangatlah banyak, diantaranya
adalah sebagai berikut :
A.
Dalil Al Qur’an
Berikut ini
diantara ayat al Qur’an yang menyebutkan secara tersurat maupun tersirat bahwa
suara wanita itu bukanlah aurat.
1.
Allah memerintahkan para istri Rasulullah n agar berkata-kata, namun dengan
perkataan dan cara yang baik. Dan tentunya perkataan istri Nabi itu akan di
dengar bukan saja oleh para shahabiyah tetapi juga para sahabat. FirmanNya
:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ
لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ
بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Wahai
istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab:
32)
Meskipun
konteks ayat diatas membicarakan para umahatul mukminin, tetapi sudah maklum
dan ma’fum dipahami, hukum ayat ini tentunya berlaku untuk semua kaum muslimah.
2.
Allah menceritakan wanita yang menggugat kepada Nabi n tentang dzihar
yang dilakukan suami wanita tersebut. FirmanNya :
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ
الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ
تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya
Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu
tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar
hiwar (dialog) antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” ( Al Mujadilah : 1)
Dan tentu
saja pengaduan wanita tersebut kepada Nabi n mengunakan kata-kata, bukan dengan
bahasa isyarat. Dan mustahil Rasulullah n akan mau mendengar suara wanita
tersebut bila hal tersebut adalah aurat.
3.
Dalam al Qur’an terdapat kisah tentang dialog Nabi Musa dengan dua wanita kakak
beradik, yakni putri nabi Syu’aib, FirmanNya :
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ
مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ
دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي
حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
“Dan tatkala
ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang
yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak
itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata:
"Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu
menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum
pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah
orang tua yang telah lanjut umurnya." (Al Qashash
: 23)
Dan
disambung diayat selanjutnya :
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا
تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ
مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ
نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Kemudian
datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan
kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia
memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami".
Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya
cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu
telah selamat dari orang-orang yang zalim itu."
(Al-Qashash: 25)
Demikianlah,
masih banyak dalil dalam kitabullah yang menunjukkan bahwa suara wanita
bukanlah aurat. Baik dalil-dalil tersebut bersifat umum yang mewajibkan,
menyunnahkan, atau memubahkan berbagai aktivitas, yang berarti mencakup pula
bolehnya wanita melakukan aktivitas-aktivitas itu.
Seperti para
wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual beli (QS. Al-Baqarah: 275;
QS. An-Nisa’:29), berhutang-piutang (QS. Al-Baqarah: 282), sewa-menyewa (ijarah)
(QS. Al-Baqarah: 233; QS. Ath-Thalaq: 6), memberikan persaksian (QS.
Al-Baqarah: 282), menggadaikan barang (rahn) (QS. Al-Baqarah: 283),
menyampaikan ceramah (QS. An-Nahl: 125; QS. As-Sajdah: 33), meminta fatwa
(QS. An-Nahl: 43), dan sebagainya. Yang kesemuanya itu hampir mustahil tidak
menggunakan aktivitas suara/ berbicara.
B.
Hadits Nabi dan Atsar para shahabat
1. Shahabiyah (shahabat wanita) mereka berbicara dengan
Rasulullah
Banyak
hadits yang menceritakan bahwa para shahabat wanita dahulu juga bertanya kepada
Rasulullah n,,, bahkan ketika Nabi n sedang berada di tengah-tengah para
sahabat laki-laki. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam sebuah hadits
berikut ini :
أَنَّ
امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ، جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى
مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ
كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ
أَحَقُّ بِالوَفَاءِ
Dari Ibnu Abbas h, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada
Rasulullah n, lalu berkata : “Sesungguhnya
ibuku telah bernadzar untuk pergi haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat
haji, apakah saya bisa berhaji atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya,
berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang
kepada Allah, sebab hutang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari
no : 1852)
2. Para
Shahabat mendatangi ummul mukminin untuk bertanya hukum agama.
Dan para
sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul mukminin (para isteri
Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun memberikan fatwa dan berbicara
dengan orang-orang yang datang. Dan tidak ada seorang pun mengatakan,
“Sesungguhnya ini dari Aisyah atau selain Aisyah telah melihat aurat yang wajib
ditutupi,” padahal isteri-isteri Nabi mendapat perintah dengan keras yang tidak
pernah dirasakan bagi wanita lainnya.
Al Ahnaf ibn
Qais berkata : “Aku telah mendengar hadits dari mulut Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali. Dan aku tidak pernah mendengar hadits sebagaimana aku mendengarnya
dari mulut ‘Aisyah.” (HR. Al Hakim)
Musa bin
Thalhah ra. berkata :
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا
أَفْصَحَ مِنْ عَائِشَةَ
“Aku tidak
pernah melihat seorang pun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah.” (HR.
Tirmidzi)
C.
Pendapat ulama mazhab
Berikut
perkataan para ulama dan yang termaktun dalam kitab-kitab mu’tabarah
yang menjelaskan tentang hukum suara wanita :
-
Hanafiyah
Ada sebagian
riwayat yang mengatakan bahwa Abu Hanifah berpendapat suara wanita adalah
aurat. Namun, menurut khabar yang kuat adalah bahwa kalangan Hanafiyah
menyatakan suara wanita bukan aurat.
-
Malikiyah dan Hanabilah
Dalam al
Mausu’ah Fiqihiyah al Kuwaitiyah juz 4 halaman 91 dapat disimpulkan tentang
pandangan kedua mazhab ini bahwa suara wanita bukanlah aurat. Yaitu ketika
mereka berpendapat dibencinya mendengarkan nyanyian wanita.
-
Syafi’iyah
Diketahui
secara pasti pendapat dari mazhab ini, bahwa suara wanita bukanlah aurat. Dan
bahkan menurut syafi’iyah, boleh mendengarkan suara wanita menyanyi dengan
catatan aman dari fitnah.
D. Pendapat
para ulama lainnya.
- Umairah mengatakan : “Suara perempuan
bukan aurat berdasarkan pendapat sahih, maka tidak haram mendengarnya.”
- Zainuddin al-Malibary berkata : “Suara tidak
termasuk aurat, karena itu tidak haram mendengarnya kecuali dikuatirkan fitnah
atau berlezat-lezat dengannya sebagaimana yang telah dibahas oleh Zarkasyi.”
- Syaikh al Jaziri Hafizhahullah berkata
: “Suara wanita bukanlah aurat. Karena istri-istri Nabi dahulu juga
bercakap-cakap dengan para sahabat.
Sumber: http://www.konsultasislam.com/2011/05/apakah-suara-wanita-aurat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar