Media Penjernih Pemikiran Umat

Sabtu, 23 Februari 2019

Apakah Suara Wanita Aurat?


APAKAH SUARA WANITA AURAT ?

Ulama berbeda pendapat tentang hukum suara wanita. Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa suara wanita adalah aurat. Namun, menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama, suara wanita bukanlah aurat. Sehingga siapapun boleh saja mendengar suara seorang wanita atau mendengarnya berbicara, karena tidaklah termasuk hal yang terlarang dalam Islam. Ini adalah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini.

Syaikh Wahbah Zuhaili Hafizhahullah berkata : “Suara wanita menurut jumhur (mayoritas ulama) bukanlah aurat, karena para sahabat nabi mendengarkan suara para isteri Nabi Saw untuk mempelajari hukum-hukum agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita  yang  disuarakan dengan melagukan dan mengeraskannya, walaupun dalam membaca Al Quran, dengan sebab khawatir timbul fitnah.

Dikatakan : “Ada pun jika suara wanita, maka jika si pendengarnya berlezat-lezat dengannya, atau khawatir terjadi fitnah pada dirinya, maka diharamkan mendengarkannya, jika tidak demikian, maka tidak diharamkan. Para sahabat radhiyallahu’anhum mendengarkan suara wanita ketika berbincang dengan mereka (dan itu tidak mengapa).

Dalil yang menunjukkan bahwa suara wanita bukanlah aurat sangatlah banyak, diantaranya adalah sebagai berikut :
A.   Dalil Al Qur’an
Berikut ini diantara ayat al Qur’an yang menyebutkan secara tersurat maupun tersirat bahwa suara wanita itu bukanlah aurat.
1.            Allah memerintahkan para istri Rasulullah n agar berkata-kata, namun dengan perkataan dan cara yang baik. Dan tentunya perkataan istri Nabi itu akan di dengar bukan saja oleh para shahabiyah tetapi juga para sahabat. FirmanNya :
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)

Meskipun konteks ayat diatas membicarakan para umahatul mukminin, tetapi sudah maklum dan ma’fum dipahami, hukum ayat ini tentunya berlaku untuk semua kaum muslimah.

2.            Allah menceritakan wanita yang menggugat kepada Nabi n tentang dzihar yang dilakukan suami wanita tersebut. FirmanNya :
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar  hiwar (dialog)  antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ( Al Mujadilah : 1)

Dan tentu saja pengaduan wanita tersebut kepada Nabi n mengunakan kata-kata, bukan dengan bahasa isyarat. Dan mustahil Rasulullah n akan mau mendengar suara wanita tersebut bila hal tersebut adalah aurat.

3.            Dalam al Qur’an terdapat kisah tentang dialog Nabi Musa dengan dua wanita kakak beradik, yakni putri nabi Syu’aib, FirmanNya :

وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya." (Al Qashash : 23)

Dan disambung diayat selanjutnya :
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu." (Al-Qashash: 25)

Demikianlah, masih banyak dalil dalam kitabullah yang menunjukkan bahwa suara wanita bukanlah aurat. Baik dalil-dalil tersebut bersifat umum yang mewajibkan, menyunnahkan, atau memubahkan berbagai aktivitas, yang berarti mencakup pula bolehnya wanita melakukan aktivitas-aktivitas itu.

Seperti para wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual beli (QS. Al-Baqarah: 275; QS. An-Nisa’:29), berhutang-piutang (QS. Al-Baqarah: 282), sewa-menyewa (ijarah) (QS. Al-Baqarah: 233; QS. Ath-Thalaq: 6), memberikan persaksian (QS. Al-Baqarah: 282), menggadaikan barang (rahn) (QS. Al-Baqarah: 283), menyampaikan ceramah (QS.  An-Nahl: 125; QS. As-Sajdah: 33), meminta fatwa (QS. An-Nahl: 43), dan sebagainya. Yang kesemuanya itu hampir mustahil tidak menggunakan aktivitas suara/ berbicara.

B.   Hadits Nabi dan Atsar para shahabat
1. Shahabiyah (shahabat wanita) mereka berbicara dengan Rasulullah
Banyak hadits yang menceritakan bahwa para shahabat wanita dahulu juga bertanya kepada Rasulullah n,,, bahkan ketika Nabi n sedang berada di tengah-tengah para sahabat laki-laki. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini :

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ، جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ
Dari Ibnu Abbas h, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Rasulullah n, lalu berkata : “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya bisa berhaji atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari no : 1852)

2. Para Shahabat mendatangi ummul mukminin untuk bertanya hukum agama.
Dan para sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul mukminin (para isteri Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun memberikan fatwa dan berbicara dengan orang-orang yang datang. Dan tidak ada seorang pun mengatakan, “Sesungguhnya ini dari Aisyah atau selain Aisyah telah melihat aurat yang wajib ditutupi,” padahal isteri-isteri Nabi mendapat perintah dengan keras yang tidak pernah dirasakan bagi wanita lainnya.

Al Ahnaf ibn Qais berkata : “Aku telah mendengar hadits dari mulut Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Dan aku tidak pernah mendengar hadits sebagaimana aku mendengarnya dari mulut ‘Aisyah.” (HR. Al Hakim)
Musa bin Thalhah ra. berkata :
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَفْصَحَ مِنْ عَائِشَةَ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah.” (HR. Tirmidzi)

C.   Pendapat ulama mazhab
Berikut perkataan para ulama dan yang termaktun dalam kitab-kitab mu’tabarah yang menjelaskan tentang hukum suara wanita :

-      Hanafiyah
Ada sebagian riwayat yang mengatakan bahwa Abu Hanifah berpendapat suara wanita adalah aurat. Namun, menurut khabar yang kuat adalah bahwa kalangan Hanafiyah menyatakan suara wanita bukan aurat.

-      Malikiyah dan Hanabilah
Dalam al Mausu’ah Fiqihiyah al Kuwaitiyah juz 4 halaman 91 dapat disimpulkan tentang pandangan kedua mazhab ini bahwa suara wanita bukanlah aurat. Yaitu ketika mereka berpendapat dibencinya mendengarkan nyanyian wanita.

-      Syafi’iyah
 Diketahui secara pasti pendapat dari mazhab ini, bahwa suara wanita bukanlah aurat. Dan bahkan menurut syafi’iyah, boleh mendengarkan suara wanita menyanyi dengan catatan aman dari fitnah.

D. Pendapat para ulama lainnya.
- Umairah mengatakan  : “Suara perempuan bukan aurat berdasarkan pendapat sahih, maka tidak haram mendengarnya.”

- Zainuddin al-Malibary berkata : “Suara tidak termasuk aurat, karena itu tidak haram mendengarnya kecuali dikuatirkan fitnah atau berlezat-lezat dengannya sebagaimana yang telah dibahas oleh Zarkasyi.”

- Syaikh al Jaziri Hafizhahullah berkata : “Suara wanita bukanlah aurat. Karena istri-istri Nabi dahulu juga bercakap-cakap dengan para sahabat.

Sumber: http://www.konsultasislam.com/2011/05/apakah-suara-wanita-aurat.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar