Media Penjernih Pemikiran Umat

Sabtu, 18 Mei 2019

Bagaimana Hukumnya Mengambil Upah Mengajari Al-Qur'an?



Bagaimana Hukumnya Mengambil Upah Mengajari Al-Qur'an?

Sejak awal kemunculannya, agama ini sudah sangat menjunjungi tinggi nilai sebuah ilmu, terlebih lagi itu ilmu agama. Dan tidak ada yang meragukan lagi bahwa agama ini sangat memotivasi umatnya untuk terus menuntut ilmu, lalu mengajarkannya kepada generasi selanjutnya. 

Adanya proses belajar mengajar yang memang tumbuh sejak awal Islam, membuat ulama membicarakan upah itu, karena bagaimanapun seorang guru juga butuh materi untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya. Jadi perkara mengambil upah atas dakwah atau mengajar ilmu agama bukanlah suatu yang baru dalam litalatur keilmuan ulama muslim, terlebih lagi para ulama fiqih. Para Fuqoha’ telah lama membahas ini. 

Ulama bersepakat atas kebolehan mengambil jatah dari baitul-maal sebagai upah atas pengajaran AlQur’an, atau juga pengajaran ilmu syariah lainnya seperti hadits, tafsir, fiqih dan yang lainnya. Upah yang diambil dari baitul-maal itu sejatinya bukan pembayaran atas ilmu tersebut, melainkan sebagai bentuk tolong menolong dalam ketaatan (ibadah), dan itu tidak merubah nilai ibadah pengajaran tersebut. 

Begitu juga, ulama sependapat bahwa mengambil upah atas pengajaran ilmu-ilmu umum seperti kedokteran, matematika, geografi, kimia dan lainnya itu dibolehkan kalau itu dari bait-maal. Akan tetapi ulama berbeda pendapat dalam hal seorang guru yang mengambil upah mengajar dari si penuntut ilmu itu sendiri, apakah boleh atau tidak? 

Dalam hal ini, ulama terpecah menjadi beberapa kelompok padangan: 

1. Ulama-ulama klasik dari kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa mengambil upah dari murid atas pengajaran Al-Quran dan ilmu lainnya tidak diperbolehkan.

2. Madzhab Maliki berpendapat bahwa boleh mengambil upah atas pengajaran Al-Quran. Akan tetapi untuk ilmu lain, upah yang diambil dari situ hukumnya makruh.

3. Madzhab Syafi’i membolehkan mengambil upah untuk pengajaran Al-Qur’an. Tapi untuk ilmu lain, madzhab ini tidak membolehkan kecuali memang jika si pengajar sudah ditentukan dan materinya yang akan diajarkan juga sudah ditetapkan sebelumnya.

Setelah menguraikan beberapa pandangan ulama tentang upah atas pengajaran Al-Qoran dan ilmu lainnya ini, penulis akan uraikan dalil dari masing-masing kelompok berdasarkan kelompok pendapat.

Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Pengambilan Upah:

1. Sabda Nabi shallallahu alaih wa sallam yang dirwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya bahwa beliau shallahu alaih wa sallam melarang mengambil upah dari Al-Qur’an: 

 اقْرَءُوا الْقرُْآنَ  وَلَ  تأَكْلُوُا بِهِ  وَلَ  تسَْتكَْثِرُوا بهِِ 

“Bacalah Al-Quran dan janganlah kalian makan dari itu, dan jangan juga kalian memperbanyak kekayaaan dari itu,…..” (HR Imam Ahmad dan Imam Al-Baihaqi dalam Syuabul-Iman) 

2. Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam adalah muballigh ulung, master dari semua muballgih / dai yang ada di dunia ini, dan beliau shallallahu alaih wa sallam tidak mengambil upah sama sekali dalam dakwahnya. Maka seorang dai juga tidak boleh mengambil upah atas dakwahnya sebagaimana Nabi shallallahu alaih wa sallam dulu tidak mengambil upah. 

3. Mengambil tariff atau upah dari sebuah dakwah atau juga pengajaran Al-Quran dan ilmu lainnya justru membuat orang enggan untuk belajar, karena besarnya biaya yang harus dibayar. 

Allah Ta’ala telah mengisyaratkan kita tentang hal ini dalam ayatNya: 

 أمَْ  تسَْألَهُُمْ  أجَْرًا فهَُمْ  مِنْ  مَغْ رَ م  مُثْقلَوُنَ 

“Apakah kamu meminta upah kepada mereka, lalu mereka diberati dengan hutang?” (Al-Qolam 46) Akhirnya prkatek pengambilan upah tersebut justru menjadi penghalang orang lain untuk melakukan sebuah ketaatan; menuntut ilmu. Menghentikan seseorang untuk beribadah tentu hal yang sangat dilarang dalam syariah ini. 

Dalil Kelompok Yang Membolehkan Mengambil Upah:

1. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari sahabat Sahl bin Sa’d Al-Sa’idiy diceritakan bahwa Nabi shallallahu alaih wa sallam pernah menikahkan salah seorang sahabat dengan mahar hapalan Quran yang ia miliki untuk diajarkan kepada istrinya. 

 قَدْ  زَوَّجْتكَُهَا بمَِا مَعكََ  مِنْ  الْقرُْآنِ 

“Aku telah nikahkah kau dan dia dengan (mahar) apa yang kau hapal dari Qur’an” (HR Abu Daud) 

Haditsnya jelas, kalau saja hapalan dan pengajaran Al-Quran punya nilai sehingga bisa menjadi mahar nikah, maka mengajarkannya atau apa yang dikandung di dalamnya juga punya nilai. Dan si pengajar berhak mendapat imbalan atau upah. 

2. Sabda Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam: 

 إنَِّ  أحََقَّ  مَا أخََذْتمُْ  عَلَيْهِ  أجَْرًا كِتاَبُ  اللَِّّ 

“Sesungguhnya, yang paling layak untuk kalian ambil imbalan (ongkos) ialah Kitabullah” (HR Bukhori).

Hadits diatas dengan sangat jelas mengisyaratkan kebolehan mengambil upah atas pengajaran AlQuran. Kalau dari Al-Quran saja seseorang dibolehkan mengambil imbalan atas itu, maka juga diperbolehkan mengambil imbalan dari apa yang dikandung oleh Al-Quran itu sendiri. Dan ilmu pengetahuan serta sains yang mnejadi kekayaan intelektual itu bersumber dari Al-Quran, maka sah-sah saja mengambil manfaat berupa imbalan materi dari itu.

3. Ulama bersepakat atas kebolehan mengambil jatah dari baitul-maal sebagai upah atas pengajaran AlQur’an, atau juga pengajaran ilmu syariah lainnya seperti hadits, tafsir, fiqih dan yang lainnya. Upah yang diambil dari baitul-maal itu sejatinya bukan pembayaran atas ilmu tersebut, melainkan sebagai bentuk tolong menolong dalam ketaatan (ibadah), dan itu tidak merubah nilai ibadah pengajaran tersebut.

Masing-Masing Sadar Diri 

Dari uraian masing-masing kelompok atas apa yang mereka pegang dalam hal kebolehan atau tidaknya mengambil upah dalam mengajarkan Al-Quran atau juga ilmu lain. Bisa ditarik kesimpulan bahwa keduanya punya tujuan mulia, yaitu memotivasi agar umat tetap dekat dengan ilmu. 

Agar ilmu bisa didapat yang kemudian berbuah kemajuan peradaban serta intelektualitas umat Islam, sekelompok ulama mengharamkan pengambilan upah atas sebuah pengajaran. Karena itu sama saja dengan menahan ilmu dan menyembunyikannya sehingga orang lain sulit untuk mengaksesnya. 

Akan tetapi di sisi lain ada kesejahteraan para guru dan ulama yang seakan terabaikan dengan tidak adanya imbalan yang mereka dapat. Bagaimanapun mereka juga punya keluarga yang kebutuhannya harus terpenuhi. 

Masing-masing harus tahu diri dan sadar. Para penuntut ilmu yang diajar juga harus sadar bahwa guru dan ustadz mereka punya kebutuhan dunia yang harus terpenuhi. Pun sang ustadz juga sadar diri untuk tidak menjadikan dakwah layaknya bisnis property dengan ekspektasi keuntungan berlimpah jika dapat panggilan. 

Jangan akhirnya malah malah melupakan niat awal dakwah, yaitu pertanggungjawaban atas ilmu yang didapat untuk diamalkan dan diajarkan kepada mereka yang tidak mengetahui. Ulama punya kewajiban mencerdaskan umat, bukan memeras umat. Baiknya sang guru atau ustadz tidak menentukan bayarannya, tapi jika diberikan tak perlu menolak. 

Jangan pula memasang tarif tinggi sehingga orang yang ingin berguru menjadi antipasti akhirnya. Nabi shallallahu alaih wa sallam bersabda:

 مَ نْ سُئلَِ  عَنْ  عِلْ م  فكََتمََه ُ ألَْجَمَه ُ اللَّّ ُ بلِِجَا م  مِ نْ ناَ ر  يوَْمَ  الْقِياَمَةِ 

“Barang siapa yang ditanya mengenai suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, niscaya ia akan dipecut oleh Allah swt di hari kiamat nanti dengan tali pecut dari neraka” (HR Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah) 
Wallahu’alam 

Sumber:
https://www.rumahfiqih.com/fikrah-117-hukum-mengambil-upah-dakwah.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar