Media Penjernih Pemikiran Umat

Sabtu, 07 Maret 2020

Virus Corona Mengganas, Ekonomi Indonesia Terimbas

Wabah virus corona alias Covid-19 yang berasal dari Wuhan, Cina, dijadikan alibi pemerintah Indonesia terhadap kondisi ekonomi domestik yang anjlok. Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam banyak forum mengatakan virus corona membuat prediksi pertumbuhan ekonomi global dan banyak negara direvisi. Alasan yang dipakai menteri keuangan terbaik dunia ini mengacu pada ekonomi Cina yang diprediksi anjlok karena wabah Covid-19.
Tercatat ekonomi Cina pada akhir 2019 masih tumbuh sekitar 6 persen, tapi pada kuartal I tahun ini diprediksi turun 1 persen. Jika ekonomi Cina turun 1 persen, maka Indonesia yang menjadi mitra dagang terbesar kedua Cina akan turun juga. Diprediksi pertumbuhan ekonomi RI turun dari sekitar 5 persen menjadi sekitar 4,7 persen. Semua alasan ini dipakai Sri Mulyani namun untuk langkah konkret mengantisipasi semua itu nihil.
Demikian pernyataan Mantan Menko Ekuin Dr. Rizal Ramli (RR). RR menukas isu corona hanya dijadikan pemerintah dan menterinya untuk melegitimasi ketidakbecusan bekerja. “Padahal tanpa (virus) corona pun, ekonomi Indonesia semakin nyungsep karena salah kelola. Benar-benar ilmu pengibulan sudah tingkat Dewa,” ujarnya (28/2/2020).
Sebagai informasi, Bank Indonesia telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1-5,5 persen menjadi 5-5,4 persen. Penyebabnya, virus corona dinilai bakal berdampak ke perekonomian tanah air. (politik.rmol.id)

Dampak Virus Corona terhadap Ekonomi Global

Virus corona telah menyebarkan ketakutan yang nyata di seluruh penjuru dunia. Virus ini dilaporkan telah menelan lebih dari 2.300 korban jiwa. Tidak hanya Wuhan yang ditutup untuk aktivitas sehari-hari. Daegu, salah satu kota besar di Korea Selatan juga bagaikan “kota hantu” karena lonjakan virus corona di tengah warganya.
Hal ini tentu membawa dampak luar biasa pada perekonomian Cina dan ekonomi global. Perebakan virus corona yang terus meluas telah mengguncang banyak bursa di dunia dan berbagai indeks saham mengalami penurunan tajam.
Para pejabat di Cina dan negara lain yang paling terdampak oleh virus itu telah melakukan penutupan banyak kegiatan, yang pada gilirannya mengganggu rantai pasokan ekonomi, kegiatan pariwisata dan sektor-sektor keuangan penting lainnya.
Desmond Lachman –periset American Enterprise Institute- yakin dampak wabah Covid-19 bagi Cina akan terasa lebih lama, karena banyak perusahaan akan mencari sumber-sumber pasokan lain supaya jangan sangat tergantung pada Cina. [1]
Dalam pangsa perdagangan dunia, posisi Cina terbesar dibanding negara-negara lain. Pangsa global trade Cina saat ini mencapai 12,3% dari perdagangan dunia. Demikian pula peran Cina dalam Global Value Chain amat kompleks.

Semua diproduksi di Cina dari A sampai Z sehingga memengaruhi produk-produk yang ada di dunia.[2] Sejumlah perusahaan di bidang farmasi, elektronik, otomotif, dan ritel paling terpukul dan tidak banyak alternatif bagi sejumlah perusahaan AS yang bergantung pada manufaktur dari Cina.[3]

Cina telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bisnis global bahkan sejak wabah SARS (Severe acute respiratory syndrome) melanda pada 2003 silam. Pukulan terhadap ekonomi akibat virus corona diperkirakan tiga hingga empat kali lebih besar ketimbang kerugian global sebesar USD40 miliar akibat SARS.

Wuhan merupakan salah satu pusat industri terbesar di Cina. Berbagai perusahaan besar dunia memiliki pabrik di Wuhan seperti Honda, Hyundai, Renault, Peugeot dan Citroen.[4] Raksasa ekonomi dunia itu kehilangan keperkasaannya karena pukulan jasad renik bernama Covid-19.

Ekonomi Indonesia Hadapi Covid-19
Dampak yang langsung terasa bagi Indonesia adalah ketika rupiah tertekan di hadapan dolar AS, melemah pada level Rp 13.865.[5] Pelemahan ekonomi Indonesia lainnya bisa terjadi karena Cina merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.

Berdasarkan data BPS Januari 2020, penurunan tajam terjadi pada ekspor migas dan nonmigas yang merosot 12.07%. Cina merupakan pengimpor minyak mentah terbesar, termasuk dari Indonesia. Dari sisi impor juga terjadi penurunan 2.71% yang disumbang turunnya transaksi komoditas buah-buahan.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami perlambatan sekitar 0,23%, jika perekonomian Cina melemah 1% akibat wabah virus Corona.

Menteri BUMN Erick Thohir juga khawatir virus corona mengancam investasi di Indonesia. Padahal banyak negara, termasuk investor nontradisional seperti Uni Emrat Arab (UEA) akan melakukan investasi sebesar 18-20 miliar dolar AS atau sekitar Rp280 triliun untuk bidang energi, agrikultur, pendidikan, keuangan, infrastruktur, manufaktur, dan Sovereign Wealth Fund (SWF).[6]
Karena itulah pemerintah menjadi panik dan melakukan solusi yang tak popular bahkan absurd. Bagaimana tidak, jika untuk mencegah penyebaran virus, pemerintah di seluruh dunia telah memberlakukan pembatasan perjalanan, Indonesia malah mengundang wisatawan datang ke Indonesia.

Arab Saudi saja rela kehilangan pemasukan yang amat besar saat menghentikan umrah. Padahal sektor perjalanan haji dan umrah saja menyumbang USD12 miliar, dan nilai haji dan umrah itu setara 20 persen PDB nonminyak Arab atau setara 7 persen PDB negara itu[7]. Tapi Saudi bersedia merugi demi keamanan warganya.

Berdalih belum ditemukannya suspect Covid-19, Indonesia malah mengundang wisatawan, yang tak mustahil berasal dari negara yang telah terinfeksi virus itu. Indonesia memang memberlakukan larangan perjalanan ke dan dari Cina. [Update terbaru: Jokowi mengumumkan dua WNI positif Corona, 3/2/2020).

Namun dalam kondisi ekonomi Indonesia yang amat mengerikan –utang tembus Rp4.817 triliun, defisit transaksi berjalan kuartal III 2019 mencapai US$ 7,7 miliar[8], target penerimaan pajak tahun 2019 meleset Rp245,5 triliun[9]– pemerintah harus menggenjot penerimaan dengan cara instant.

Pariwisata adalah bisnis instan yang diprediksi mampu menggelontorkan devisa bagi negara. Namun sektor ini paling berdampak akan merebaknya kasus ini. Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) memprediksi potensi kerugian sektor industri pariwisata mencapai puluhan miliar per bulan karena anjloknya turis dari Cina.
Data BPS menunjukkan kunjungan wisatawan Cina ke Indonesia selama Januari sampai Juni 2019 mencapai 1,05 juta orang, terbanyak kedua setelah wisatawan Malaysia.
Karena itu pemerintah bakal mengucurkan dana Rp72 miliar dari APBN 2020 untuk influencer. Dana itu merupakan bagian dari insentif yang diberikan pemerintah untuk sektor pariwisata demi menangkal dampak ‘infeksi’ virus corona terhadap ekonomi domestik.
Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan dana itu akan digelontorkan Maret 2020. Pemerintah juga menganggarkan Rp103 miliar untuk promosi dan kegiatan pariwisata sebesar Rp25 miliar, Rp98,5 miliar untuk maskapai dan biro perjalanan. Total dana tambahan khusus untuk sektor pariwisata tahun ini sebesar Rp298 miliar.[10]

Solusi Hakiki bagi Indonesia

Kegagalan pemerintah Indonesia bukanlah kisah baru. Maka cara penanganan yang absurd pun ‘dimaklumi’ sebagai kegagalan yang berulang. Ketergantungan atas peran asing dalam menentukan ekonominya, menjadi latar belakang utama jebloknyaekonomi negeri ini. Terlebih lagi, ketergantungan menjadikan Kapitalisme sebagai sandaran ekonomi.
Sebagai ilustrasi, rezim hari ini sangatlah “mesra” melakukan hubungan dengan Cina. Hubungan itu berimbas pada kebijakan politik maupun bisnis yang akhirnya dibuat. Banyak kebijakan yang akhirnya melibatkan Cina dalam hal kerja sama, semisal pengadaan sarana dan prasarana, termasuk salah satunya kebijakan terkait TKA Cina yang diperbolehkan bekerja di Indonesia.

Adalah hal yang wajar apabila kemudian terjadi sesuatu hal pada Cina pasti akan berimbas pula pada Indonesia sebagai negara yang terikat hubungan kerja sama. Terlebih investasi yang diberikan selama ini bukan sekadar investasi biasa.

Di dalam Islam, hubungan kerja sama antarnegara tentu diperbolehkan. Hanya saja, dengan catatan tanpa meninggalkan dampak tekanan antara negara yang satu dengan yang lainnya. Sebagaimana Indonesia yang terikat dalam hal kebijakan, karena kucuran investasi yang diberikan oleh negara-negara investor. Hal ini menjadikan kedaulatan atau independensi negara akhirnya dipertanyakan.

Di sinilah dibutuhkan politik ekonomi Islam yang mengatur perekonomian negara. Bukan seperti sistem ekonomi kapitalisme hari ini. Di mana menjadikan imperialisme sebagai metode memperkaya diri. Mendahulukan keuntungan yang sebesar-besarnya sekalipun menindas negara lain.

Alhasil, independensi negara akhirnya tergadaikan dengan skema utang berbalut investasi misalnya. Belum lagi praktik riba yang ada di dalamnya.

Politik ekonomi Islam yang membatasi hubungan kerja sama hanya dengan negara-negara boleh terjalin hubungan karena ketundukan dan ketaatan pada hukum syara’. Bukan dengan negara yang jelas-jelas memusuhi atau tidak mau menerapkan syariat Islam.
Sungguh, hanya satu solusinya, yaitu menjadikan Islam sebagai Ideologi. Yang dengannya akan diterapkan politik ekonomi Islam, sehingga memberikan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Termasuk bagi Indonesia, khususnya. Sistem yang hanya dapat ditegakkan dalam bingkai institusi Khilafah Islamiyah-lah, bukan yang lain. [MNews]
Sumber : MuslimahNews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar